Berita  

Mahfud MD Soroti Prosedur Pembahasan RUU TNI yang Dinilai Tertutup dan Tidak Transparan

banner 120x600
banner 468x60

Ngawinews.com, Jakarta – Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) kembali menjadi sorotan publik setelah pernyataan tegas disampaikan oleh mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD.

Melalui akun media sosialnya, Mahfud menyinggung persoalan besar yang dinilainya mencederai prinsip keterbukaan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.

banner 325x300

Mahfud MD mengungkapkan keprihatinannya terhadap proses pembahasan RUU TNI yang menurutnya dilakukan dengan prosedur yang buruk. Ia menyebut bahwa proses tersebut tidak mencerminkan semangat partisipatif dan akuntabilitas publik dalam pembentukan kebijakan.

“Soal RUU TNI saya sudah menyampaikan pendapat, pembahasan RUU TNI yang sudah disahkan ini secara prosedural sangat buruk,” kata Mahfud MD, Rabu (8/4/25) dalam akun YouTube-nya.

Salah satu poin kritis yang disoroti Mahfud berkaitan dengan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang beredar di awal pembahasan. DIM tersebut dinilai memiliki kecenderungan menghidupkan kembali semangat dwi fungsi TNI seperti masa lalu.

“Itu dulu, DIM-nya itu yang beredar sangat pro dwi fungsi (TNI). DIM yang beredar di awal-awal itu,” ujar Mahfud MD.

Lebih lanjut, Mahfud menilai bahwa dalam DIM tersebut terdapat ketentuan yang memberi keleluasaan berlebihan kepada presiden dalam menempatkan TNI. Hal ini dinilainya membuka ruang penugasan militer yang tidak sesuai dengan prinsip pembatasan kewenangan.

“Misalnya presiden bisa menempatkan TNI di mana saja yang menurut pendapat presiden perlu diisi TNI, tidak dibatasi pada waktu itu,” ucap Mahfud MD.

Ia juga menyoroti bagaimana proses pembahasan sempat menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Namun, menurutnya, alih-alih melibatkan publik secara luas, pembahasan justru dilakukan secara tertutup.

“Ribut-ribut, kemudian karena suara publik yang keras, kemudian dibahas diam-diam. Seharusnya kan mengundang partisipasi masyarakat, dibuka untuk umum, didengar pendapat masyarakat,” tutur Mahfud MD.

Meski DPR sempat mengklaim telah mendengarkan pendapat publik, Mahfud menilai bahwa yang dimaksud hanya terbatas pada orang-orang yang dipilih oleh DPR itu sendiri, bukan suara masyarakat yang sebenarnya ingin menyampaikan aspirasi.

“Memang didengar sih, didengar orang yang oleh DPR sendiri, bukan masyarakat yang mau menyampaikan aspirasi,” ujar Mahfud MD.

Dalam pernyataannya, Mahfud juga menyebutkan bahwa pembahasan RUU tersebut sempat dipindahkan ke sebuah hotel. Langkah ini menurutnya memang tidak menyalahi aturan, tetapi ia mempertanyakan urgensi dan efisiensi dari keputusan tersebut.

“Ketika itu terjadi, kemudian lari ke sebuah hotel membahasnya. Katanya itu boleh menurut undang-undang, memang boleh,” ungkap Mahfud MD.

Mahfud pun mempertanyakan mengapa pembahasan harus dilakukan di hotel jika sebenarnya masih ada pilihan tempat yang lebih hemat dan terbuka bagi masyarakat. Ia menggarisbawahi bahwa kebolehan secara hukum tidak serta merta berarti harus dilakukan.

“Tapi apa perlunya? Kan yang semua boleh tidak harus dilakukan. Boleh dong di hotel, ada peraturan perundang-undangannya, mekanismenya. Tapi tidak harus dilakukan kalau ada yang lebih efisien,” kata Mahfud MD.

Pernyataan Mahfud ini menambah panjang daftar kritik terhadap proses legislasi di Indonesia, khususnya dalam hal transparansi dan pelibatan publik. Sejumlah kalangan akademisi dan pengamat hukum juga telah menyuarakan hal serupa dalam beberapa bulan terakhir.

Kritik Mahfud MD menjadi pengingat akan pentingnya proses legislasi yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga sah secara etika dan demokratis. (RYS)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *